Oleh Ahmad Fauzi, Mahasiswa Universitas Pamulang
Beberapa waktu belakangan, isu lama kembali mencuat: tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo menggunakan ijazah palsu. Meski bukan hal baru, perbincangan seputar ini kembali ramai, terutama di media sosial dan forum-forum diskusi politik. Tapi sebetulnya, seberapa kuat sih dasar tuduhan ini? Dan bagaimana reaksi dari pihak-pihak yang berkepentingan?
Isu ini mulai ramai setelah seorang warga bernama Bambang Tri Mulyono mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2022. Dalam gugatan itu, Bambang menyatakan bahwa ijazah SD, SMP, hingga SMA Jokowi diduga palsu. Ia bahkan meminta pengadilan untuk memverifikasi keaslian dokumen-dokumen tersebut.
Sebagai almamater Jokowi, Universitas Gadjah Mada (UGM) tak tinggal diam. Mereka langsung memberikan klarifikasi bahwa Jokowi memang pernah menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 1985. Data mahasiswa, transkrip nilai, hingga arsip administratif mendukung klaim ini. Bahkan, sejumlah dosen senior dan rektor saat itu mengaku mengenal serta pernah mengajar Jokowi semasa kuliah. Bukti ini cukup kuat untuk menegaskan bahwa Jokowi adalah alumni sah UGM.
Istana melalui Koordinator Staf Khusus Presiden menyebut tuduhan itu sebagai hoaks—kabar bohong yang sarat kepentingan politik. Di sisi lain, tim hukum Presiden juga tak tinggal diam. Mereka melaporkan balik pihak-pihak yang menyebarkan isu tersebut ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu.
Akhirnya, gugatan soal ijazah palsu ini ditolak oleh pengadilan karena dianggap tidak memiliki bukti yang cukup dan dasar hukum yang kuat. Selain itu, baik Mahkamah Konstitusi maupun KPU RI juga tidak menemukan adanya masalah dalam dokumen-dokumen yang digunakan saat Jokowi mencalonkan diri di Pilpres 2014 dan 2019.
Meski secara hukum sudah dijawab, isu ini tetap hidup di ruang publik. Tak bisa dipungkiri, dalam dunia politik yang penuh dinamika, isu seperti ini kerap digunakan untuk membentuk persepsi, apalagi menjelang tahun-tahun politik. Namun, masyarakat juga makin kritis. Banyak yang mulai mempertanyakan: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari munculnya isu ini? Dan mengapa selalu muncul saat suhu politik memanas?
Isu ijazah palsu yang menimpa Presiden Jokowi tampaknya lebih banyak berakar dari dinamika politik dibanding persoalan hukum yang berbasis fakta. Klarifikasi dari Universitas Gadjah Mada, pernyataan resmi dari Istana, serta keputusan lembaga hukum menunjukkan bahwa tudingan tersebut tidak berdasar secara kuat.
Namun, kemunculan isu seperti ini tetap menjadi cermin penting bagi kita semua—tentang betapa mudahnya informasi yang belum tentu benar menyebar di tengah masyarakat. Ini menjadi pengingat bahwa literasi media dan sikap kritis adalah kunci. Di era digital yang serba cepat, masyarakat dituntut untuk tidak sekadar menerima, tetapi juga menelaah, menimbang, dan memahami konteks dari setiap informasi yang beredar.




