DEPOKPOS – Di Indonesia, praktik pernikahan dini masih marak terjadi di daerah-daerah pelosok. Tidak sedikit masyarakat yang menjadikannya sebagai tradisi yang sulit dihapuskan. Faktanya, pernikahan di usia anak memiliki banyak dampak serius, mulai dari gangguan kesehatan mental anak, ketidakstabilan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Seperti yang terjadi pada sepasang remaja asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB): inisial R (16 tahun) dan inisial Y (15 tahun) resmi menikah pada bulan Mei 2025 karena mengikuti adat istiadat yang disebut Merariq, yaitu tradisi perkawinan populer suku Sasak di Pulau Lombok. Kejadian ini menunjukkan bahwa hukum adat, khususnya dalam praktik pernikahan dini, bertentangan dengan hukum negara sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang berbunyi, “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.” Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia masih lemah.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kasus pernikahan dini sebelum usia 18 tahun di Indonesia menunjukkan penurunan selama lima tahun terakhir:
Dari data tersebut terlihat bahwa pada tahun 2020–2024, kasus pernikahan dini mengalami penurunan yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai menyadari bahaya dari praktik pernikahan di usia dini.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyoroti aspek pernikahan dini di Indonesia. Ia menyatakan, “Pernikahan anak bukan hanya merampas hak pendidikan, tapi juga membuat anak menghadapi risiko kekerasan, kemiskinan, bahkan kematian saat melahirkan. Ini bukan sekadar masalah keluarga, tapi masalah negara.”
(Sumber: Konferensi Pers Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, 2021).
Pernikahan dini bukanlah solusi, melainkan awal dari serangkaian persoalan yang merampas masa depan anak. Negara, masyarakat, dan keluarga harus berhenti menormalisasi praktik ini. Sudah waktunya kita berdiri bersama untuk melindungi hak tumbuh dan berkembang setiap anak Indonesia tanpa terkekang oleh budaya atau tekanan sosial yang membahayakan.
Desy Fitriah